BAB IV
KETELADANAN SAHABAT USMAN BIN AFFAN
DAN ALI BIN ABI
THALIB RA
A.
Kompetensi
Dasar
1.4 Menghayati
kisah-kisah keteladanan sahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
1.3
Meneladani
sifat-sifat utama sahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
1.3
Menganlisa
kisah keteladanan sahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
1.1
Menceritakan
kisah keteladanan sahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
B.
Indikator
Pencapaian Kompetensi
1.4.1 Menunjukkan penghayatan terhadap kisah keteladanan sahabat Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
2.4.1 Terbiasa Meneladani
sifat-sifat utama sahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
3.4.1 Menjelaskan contoh kisah keteladanan sahabat Utsman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib
3.4.2 Menjelaskan hikmah yang bisa diambil dari kisah keteladanan
sahabat Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
3.4.3 Menunjukkan contoh orang/tokoh yang meneladani sahabat Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
4.5.1 Menyajikan cuplikan kisah-kisah keteladanan sahabat Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
Utsman Ibnu Affan
1.
Sifat Itsar (mendahulukan orang
lain) dan Kedermawanan Utsman Ibnu Affan
Utsman adalah
bagian dari sahabat terbaik Nabi S.A.W, ia
tumbuh menjadi pribadi yang lembut kepada sesama mukmin. Hatinya sering
tersentuh menyaksikan keadaan mereka. Ia selalu berusaha membantu kesulitan
rakyat dan menghilangkan kesedihan mereka, rajin menyambung silaturrahim,
memuliakan tamu, memberi pekerjaan kepada orang fakir, membantu yang lemah
dan berusaha menghindarkan kesulitan
mereka. Ia dikenal penyabar, ramah, dan murah hati, selalu memaafkan kesalahan orang
lain. Teladan seluruh tingkah lakunya adalah Rasulullah SAW. Ia mencontoh
perkataan, perbuatan dan perilaku Nabi
SAW.
Ada banyak
peristiwa yang menunjukkan kesabaran dan ketabahan jiwanya. Dalam setiap
kesempatan, ia selalu mendahulukan sikap santun dan maaf, murah hati dan tidak bergantung pada dunia.
Alih-alih diperbudak dunia, ia menjadikan dunia sebagai sarana untuk
mengamalkan akhlak mulia, terutama sikap mengutamakan orang lain di atas
kepentingan sendiri. Ia tidak dikuasai dunia sehingga ia tidak menjadi orang
yang egois yang mengutamakan kepentingan
pribadi dan mengorbankan kepentingan orang lain.
Materi dunia
yang melimpah tak mampu mengikat atau membelenggu Utsman ibn Affan untuk
mencintai dunia. Ia selalu menempatkan Allah dan Rasul-Nya di urutan yang
paling tinggi. Hatinya tak pernah terikat kepada dunia sehingga ia dapat setiap
saat melepaskan semua miliknya demi kepentingan Allah dan Rasul-Nya. Karena
itu, ia termasuk orang yang paling berhak atas apa yang Allah SWT firmankan
dalam Al-Qur’an: “dan barang siapa terjaga dari sikap kikir, mereka itulah
orang-orang yang beruntung” (Q.S. AtTaghabun).
Tentu saja ia berhak mendapatkan balasan yang mulia itu karena ia
terbiasa membebaskan seorang budak setiap Jumat. Suatu hari Thalhah menyusul
Utsman sekeluarnya dari masjid. Thalhah berkata, “Aku sudah punya lima puluh
ribu dirham yang kupinjam darimu. Aku akan mengutus seseorang untuk
menyerahkannya kepadamu.”Utsman menjawab, “Biarlah semua itu kuberikan
kepadamu, karena kebaikan akhlakmu.”
Juga
dikisahkan bahwa sebelum Nabi datang ke Madinah, di sana ada sumur yang disebut sumur Rawmah. Air sumur itu
sangat tawar. Setiap orang yang ingin minum dari sumur itu harus membelinya.
Sumur itu milik seorang Yahudi. Ketika umat Islam semakin berat dihimpit
kesulitan, Rasulullah menyerukan tawaran, “Barang siapa membeli sumur Rawmah, baginya surga.” Mendengar
pernyataan itu, Utsman bergegas ingin mendapatkan surga. Ia memberanikan diri
membeli sumur itu seharga 35.000 dirham.
Ia menggratiskan siapa saja untuk memanfaatkan air sumur itu, baik yang
kaya, miskin, atau pun para musafir. Inilah
Pada masa pemerintahan Al-Faruq, kaum muslim
dilanda paceklik. Karena beratnya kehidupan yang harus dihadapi, tahun itu
disebut tahun kelabu. Ketika nestapa semakin memuncak, orang-orang menghadap
Umar r.a. dan berkata, “Wahai Khalifah, langit tak menurunkan hujan dan
enggan menumbuhkan tanaman. Kita hampir binasa. apa yang harus kita lakukan?”Umar
memandangi mereka dengan wajah pilu. Ia berkata, “Sabar dan bertahanlah. Aku
berharap Allah memberikan jalan keluar dari keadaan ini sebelum malam tiba.”
Sore harinya terdengar kabar bahwa kafilah
dagang Utsman ibn Affan telah kembali dari Syria dan akan tiba di Madinah esok
pagi. Usai shalat Subuh, orang-orang menyambut kafilah itu. Seribu unta membawa
gandum, minyak samin, dan kismis. Seluruh rombongan kafilah dan kendaraannya
berkumpul di depan rumah Utsman ibn Affan r.a. Ketika para buruh sibuk
menurunkan barang dagangan, para pedagang bergegas menemui Utsman. Mereka berkata,
“Kami akan membeli semua yang engkau bawa, wahai Abu Amr.” Utsman
menjawab, “Dengan senang hati dan aku merasa terhormat. Tetapi, berapa
kalian akan memberiku keuntungan?” Mereka berkata, “Untuk satu dirham
yang engkau beli, kami memberimu dua dirham.”“Aku bisa mendapat lebih dari
itu.jawab Utsman”. Lalu mereka kembali menaikkan harga. Utsman berkata, “Aku
masih bisa mendapat lebih dari yang kalian tawarkan.” Mereka menaikkan
harga lagi. Utsman berkata, “Aku masih bisa mendapatkan lebih dari itu.”Mereka
berkata, “Wahai Abu Amr, Siapakah yang berani memberimu keuntungan lebih
dari tawaran kami?.”
Utsman menjawab: “Allah SWT. memberiku keuntungan
sepuluh kali lipat dari setiap dirham yang kubelanjakan. Adakah diantara kalian
yang berani memberiku keuntungan lebih dari itu?” “Tidak, wahai Abu Amr.”
“Aku
bersaksi kepada Allah, semua yang dibawa kafilah ini kusedekahkan kepada fakir
miskin di kalangan umat Islam. Aku tidak mengharapkan bayaran sepeser pun.
Kulakukan semua itu semata-mata mengharapkan pahala dan keridhoan Allah SWT”. Inilah
karakter Usman bin Affan yang termaktu dalam firman Allah:
وَيُؤْثِرُونَ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
وَمَنْ
يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُم الْمُفْلِحُونَ (9)
"Dan
mereka mendahulukan kepentingan orang lain (rakyat) di atas kepentingan mereka
sendiri. Dan barang siapa yang terjaga dari kekikiran dirinya, maka dialah
orang-orang yang beruntung (Q.S AlHasyr: 9)
Itu gambaran keimanan dan kedermawanan Utsman
ibn Affan. Sebanyak apapun harta dunia yang dimiliki, semuanya tidak berarti di
hatinya. Bagi para sahabat Nabi, dunia ini tidak artinya. Kendati hidup
bergelimang harta, ia tetap mengutamakan akhirat.Hasan Al-Bashri bercerita, “Aku
pernah melihat Khalifah Utsman ibn Affan berbicara di masjid. Ketika ia
berdiri, bekas-bekas tanah terlihat di punggungnya. Seseorang berkata, ‘Inilah
Amirul Mukminin…Inilah Amirul Mukminin…..’ Sungguh mengagumkan, ia memberikan
makanan yang baik-baik kepada orang lain, sedangkan ia hanya makan cuka dan
minyak samin. Ia membiarkan lambungnya bekerja keras.”
2.
Kecerdasan
sahabat Ali bin Abi Thalib r.a.
Beliau adalah
salah satu –selain Abu Bakar,Umar,dan Usman- diantara 10 sahabat yang dijamin
masuk surga sebagaimana sabada rasulullah SAW. lulusan terbaik dari madrasah
Nubuwwah, yang dididik semenjak kecil oleh Rasulullah SAW. Diantara
keistimewaan belaiu adalah Allah menganugerahkan kecerdasan di atas
rata-rata,sampai-sampai rasulullah bersabda “aku adalah kotanya ilmu,sedangkam
Ali adalah pintunya”.
Di antara kisahnya
adalah perselisihan beberapa sahabat tentang ilmu berhitung.
Dua orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti untukmakan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti.Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang ini pun duduk bersama mereka.
“Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kata salah seorang dari dua orang tadi.“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.
Dua orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti untukmakan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti.Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang ini pun duduk bersama mereka.
“Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kata salah seorang dari dua orang tadi.“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.
Maka mulailah
mereka bertiga menyantap roti bersama-sama. Selesai makan, musafir tadi
meletakkan uang delapan dirham di hadapan dua orang tersebut seraya berkata:
“Biarkan uang ini sebagai pengganti roti yang aku makan tadi.” Belum lagi
mendapat jawaban dari pemilik roti itu, si musafir telah minta diri untuk
melanjutkan perjalanannya lebih dahulu.
Sepeninggal si
musafir, dua orang sahabat itu pun mulai akan membagi uang yang diberikan.“Baiklah,
uang ini kita bagi saja,” kata si empunya lima roti.“Aku setuju,”jawab
sahabatnya.“Karena aku membawa lima roti, maka aku mendapat lima dirham, sedang
bagianmu adalah tiga dirham.“Ah, mana bisa begitu. Karena dia tidak
meninggalkan pesan apa-apa, maka kita bagi sama, masing-masing empat
dirham.”“Itu tidak adil. Aku membawa roti lebih banyak, maka aku mendapat
bagian lebih banyak” .
Alhasil, kedua
orang itu saling berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang
pembagian tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap sahabat Ali bin Abi Thalib
r.a. untuk meminta pendapat.Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita tentang
masalah yang mereka hadapi. Imam Ali mendengarkannya dengan seksama. Setelah
orang itu selesai berbicara, Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang
mempunyai tiga roti: “Terima sajalah pemberian sahabatmu yang tiga dirham
itu!”“Tidak! Aku tak mau menerimanya. Aku ingin mendapat penyelesaian yang
seadil-adilnya, “Jawab orang itu.“Kalau engkau bermaksud membaginya secara benar,
maka bagianmu hanya satu dirham!” kata Imam Ali lagi. “Hah…?
Bagaimana engkau ini, kiranya.Sahabatku ini akan memberikan tiga dirham dan aku
menolaknya. Tetapi kini engkau berkata bahwa hak-ku hanya satu
dirham?”“Bukankah engkau menginginkan penyelesaian yang adil dan benar? ,kalau
begitu, bagianmu adalah satu dirham!”. “Bagaimana bisa begitu?” Orang itu
bertanya.
Imam Ali
menggeser duduknya. Sejenak kemudian ia berkata:”Mari kita lihat. Engkau
membawa tiga potong roti dan sahabatmu ini membawa lima potong
roti.”“Benar.”jawab keduanya.“Kalian makan roti bertiga, dengan si
musafir.”‘Benar”. “Adakah kalian tahu, siapa yang makan lebih banyak?”.
“Tidak.”. “Kalau begitu, kita anggap bahwa setiap orang makan dalam jumlah yang
sama banyak”. “Setuju, “jawab keduanya serempak.“Roti kalian yang delapan
potong itu, masing-masingnya kita bagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian,
kita mempunyai dua puluh empat potong roti, bukan?” tanya Imam
Ali.“Benar,”jawab keduanya.
“Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.”“Benar.”“Nah…orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?”“Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak.“si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut. Dengan begitu, si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?”
Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami mengerti.”“Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu”“Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.
“Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti.Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
“Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.”“Benar.”“Nah…orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?”“Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak.“si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut. Dengan begitu, si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?”
Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami mengerti.”“Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu”“Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.
“Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti.Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Demikianlah
kecerdasan Ali,meski demikian, beliau adalah orang yang mempunyai rasa tawadlu’
yang tinggi. Beliau pernah berucap : أَناَ
خَادِمُ مَنْ عَلَّمَنِيْ وَلَوْ حَرْفًا yang artinya: “aku
(berkenan) menjadi pelayan pada orang yang mengajarku walaupun hanya satu
huruf”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar