BAB IV
KETELADANAN SAHABAT UMAR BIN KHATTAB RA
A.
Kompetensi
Dasar
1.5
Menghayati kisah sahabat Umar bin Khattab ra
2.5 Meneladani sifat-sifat utama sahabat Umar bin Khattab ra
3.5 Menganalisis kisah Sahabat Umar bin Khattab ra
4.5 Menceritakan kisah keteladanan Sahabat Umar bi Khattab ra
B.
Indikator
Pencapaian Kompetensi
1.5.1 Menunjukkan penghayatan terhadap kisah
sahabat Umar bin Khattab ra
2.5.1 Terbiasa meneladani
sifat-sifat utama sahabat Umar bin Khattab ra
3.5.1 Mengidentifikasi
sifat-sifat sahabat Umar bin Khattab yang perlu diteladani
3.5.2 Menjelaskan hikmah
yang bisa diambil dari kisah keteladanan Umar bin Khattab ra
3.5.3 Menunjukkan contoh
perilaku meneladani sifat-sifat sahabat Umar bin Khattab ra
3.5.4 Mengasosiasikan
keteladanan sifat-sifat sahabat Umar bin Khattab ra sebagai pemimpin dengan
fenomena sekarang
4.5.1 Menyajikan cuplikan
kisah keteladanan sahabat Umar bin Khattab ra
TUNJANGAN UNTUK UMAR BIN KHATTAB
Tatkala
‘Umar ibn al-Khaththâb r.a. diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah baginya
tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah sebelumnya, yaitu
Abû Bakar r.a. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai merangkak
naik. Tokoh-tokoh Muhajirin seperti ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, dan Zubair
berkumpul serta menyepakati sesuatu. Di antara mereka ada yang berkata,
“Alangkah baiknya jika kita mengusulkan kepada ‘Umar agar tunjangan hidup untuk
beliau dinaikkan.Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan
hidup beliau.”‘Alî kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika usulan seperti ini
diberikan pada waktu-waktu yang telah lalu.”Setelah itu, mereka berangkat
menuju rumah ‘Umar. Namun, Utsmân menyela seraya berkata, “Sebaiknya usulan
kita ini jangan langsung disampaikan kepada ‘Umar. Lebih baik kita memberi
isyarat lebih dulu melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab, saya khawatir, ‘Umar
akan murka kepada kita.”Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada
Hafshah seraya memintanya untuk bertanya kepada ‘Umar, yakni tentang bagaimana
pendapatnya jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan
tunjangan bagi Khalifah ‘Umar.“Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan
menemuinya untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk
tidak menyebutkan nama seorang pun di antara kami,” demikian kata mereka.Ketika
Hafshah menanyakan hal itu kepada ‘Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa
yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?”Hafshah menjawab, “Saya
tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah
tentang usulan itu”.
Umar
kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang
mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu.”Setelah itu,
‘Umar balik bertanya kepada Hafshah, istri Nabi saw., “Demi Allah, ketika
Rasulullah saw. masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di
rumahnya?”Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua pakaian.
Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai
sehari-hari.”‘Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh
Rasulullah?”Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan
minyak samin.”‘Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di
rumahnya?”Hafshah menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal
yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba,
separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai
alastidur.”‘Umar kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada
mereka, bahwa Rasulullah saw.selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu
beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, aku punakan
mengikuti jejak beliau. Perumpamaanku dengan sahabatku—yaitu Rasulullah dan Abû
Bakar—adalah ibarat tiga orang yang sedang berjalan. Salah seorang di antara
ketiganya telah sampai di tempat tujuan, sedangkanyang kedua menyusul di
belakangnya. Setelah keduanya sampai, yang ketiga pun mengikuti perjalanan
keduanya. Ia menggunakan bekal kedua kawannya yangterdahulu. Jika ia puas
dengan bekal yang ditinggalkan kedua kawannya itu, ia akan sampai di tempat
tujuannya, bergabung dengan kedua kawannya yang telah tiba lebih dahulu. Namun,
jika ia menempuh jalan yang lain, ia tidak akan bertemu dengan kedua kawannya
itu di akhirat.”(Sumber: Târîkh ath-Thabarî, jilid I, hlm. 164).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar